Menanggapi: Hanya Jogja Tempat Yang Paling Tidak Nyaman Untuk Libur
“Dari semua tempat wisata yang pernah saya datangi, HANYA JOGJA TEMPAT YANG PALING TIDAK NYAMAN DAN GAK AMAN UNTUK DI KUNJUNGI!!!!! Saya beberapa hari yang lalu berlibur bersama keluarga ke Keraton Yogyakarta. Dari awal saya turun mobil ada saja orang yang mengikuti saya menawarkan ini itu tapi dengan memaksa. Yang paling parah adalah tukang becak yang terus mengikuti saya dan menawarkan utk naik becak padahal saya sudah berkali kali menolak, sampai saya kesal dan memutuskan untuk pulang saja. Jujur saja saat itu kenyamanan kami sekeluarga sangat terganggu. Pernah juga kawan saya mengalami hal serupa dengan saya, lalu kawan saya malah dimintai imbalan oleh orang tersebut (padahal kawan saya tidak memakai jasanya dan sudah berkali kali menolak). Seharusnya masyarakat Jogja sadar wisata, memberikan kenyamanan dan rasa aman kepada siapa saja yg berlibur disana, Bukannya malah dipalakin!!!! Kalo Jogja kayak gini terus orang malah jd kapok dan ga akan kesana lagi karena memberikan pengalaman buruk.”
Menanggapi keluhan tersebut membuat kami tergerak untuk menyampaikan ini kepada seluruh pihak terkait pedagang, tukang becak, pengelola tempat wisata di Jogja, wisatawan, serta kepada masyarakat secara umum yang mengelola tempat wisata;
“Dari semua tempat wisata yang pernah saya datangi, HANYA JOGJA TEMPAT YANG PALING TIDAK NYAMAN DAN Gak AMAN UNTUK DI KUNJUNGI!!!!!”
Nada tegas ber-kapital tersebut memang bersifat pengalaman pribadi, namun kami yakin diantara sekian banyak wisatawan yang berkunjung pernah ada diantara mereka berucap demikian. Lalu bagaimana kami merespon ? Lalu apa makna “Jogja Berhati Nyaman” yang selalu jadi sorotan ?
Tentu, kalimat “HANYA JOGJA TEMPAT YANG PALING TIDAK NYAMAN DAN GAK AMAN UNTUK DI KUNJUNGI” itu benar – benar tanggapan yang sangat pribadi dan sangat situasional.
Mengapa situasional ? karena saat yang tidak tepat tersebut mungkin kita sedang tidak benar – benar merasakan liburan. Lalu, kalau hanya Jogja yang menjadi tempat paling tidak nyaman untuk dikunjungi. Kemana kita akan berlibur di Daerah yang masih mempertahankan budaya luhur ? Memegang erat budaya Nusantara ? dan Daerah yang masih berdiri sebagai Kerajaan yang tersisa di Indonesia ? serta Daerah yang turut andil besar dalam proses Kemerdekaan.
“Dari awal saya turun mobil ada saja orang yang mengikuti saya menawarkan ini itu tapi dengan memaksa.”
Tempat wisata identic dengan daerah tempat wisata itu sendiri, serta orang – orang yang terlibat disekitarnya. Menanggapi hal ini, tentu hal yang wajar karena itu tempat wisata. Namun, nada memaksa saat menawarkan daganganya ini juga meresahkan.
Situasi ini juga situasional, karena tuntutan ekonomi, kebutuhan yang mendesak, serta semangat yang menggebu dari pedagang itu sendiri. Atau mungkin nada memaksa itu terdengar karena suasana hati kita sedang tidak benar – benar liburan. Sehingga cuaca yang tidak mendukung, situasi padat pengunjung, perut lapar, dan sebagainya memperkeruh suasana hati.
Baik pedagang maupun wisatawan saling menutup mata akan hal ini, disisi wisatawan harus berhemat selama berlibur, namun disisi pedagang harus mencari untung sebanyak – banyaknya. Sangat situasional, tergantung kita bagaimana menyikapinya. Memilih menolak dengan sopan, atau membentak pedagang dengan tegas.
Tentu tanggapan yang tepat untuk kondisi ini adalah memilih atau melihat lihat dulu namun bila tidak berminat ucapkan saja “Maaf”, karena pedagang juga sama Manusianya, maka bersikaplah manusiawi.
“Yang paling parah adalah tukang becak yang terus mengikuti saya dan menawarkan utk naik becak padahal saya sudah berkali kali menolak, sampai saya kesal dan memutuskan untuk pulang saja.”
Tukang Becak, profesi yang yang masih bertahan ratusan tahun hingga saat ini. Sebuah profesi yang kerap dipandang sebelah mata, sebuah profesi jaman jelata yang masih tersisa. Namun, seperti inikah kita me-respect mereka yang masih berusaha mengayuh becak ?
Mereka sudah tidak muda lagi, bahkan bisa jadi generasi terakhir yang masih mau mengayuh becak. Maka bersikaplah, kepada siapa saja tukang becak maupun Pak Kusir yang masih mempertahankan profesi ini. Mereka juga memiliki Keluarga yang harus dihidupi.
Menanggapi situasi ini memang sekali lagi tergantung bagaimana kita bersikap. Menolak tawaran dengan ucapan “Maaf” atau membentak dengan nada yang tegas. Namun sebelum bersikap demikian, perhatikan siapa yang anda ajak bicara, kemudian bersikaplah.
Kesal lalu pulang ? tentu itu pilihan masing – masing, sementara yang lain pastinya akan tetap bertahan disituasi tersebut, karena memang seperti itulah liburan. (Penuh Keramaian)
“Seharusnya masyarakat Jogja sadar wisata, memberikan kenyamanan dan rasa aman kepada siapa saja yg berlibur disana, Bukannya malah dipalakin!!!!”
Masyarakat Jogja tidak semuanya menjadi bagian dari pariwisata, karena perlu kita ketahui banyak diantara profesi pedagang itu justru bukan dari Jogja. Baik pedagang, Tukang Becak, Pak Kusir, dan pengelola wisata bahkan kebanyakan dari mereka jauh – jauh datang ke Jogja hanya untuk mencari nafkah di Jogja dengan profesi tersebut.
Kita bisa lihat saja di seputaran Malioboro banyak pedagang, bahkan kebanyakan dari mereka justru bukan masyarakat Jogja. Bukan bermaksud menyalahkan, tapi seperti itulah mental pedagang yaitu menawarkan dengan beragam cara.
Sementara itu, wisatawan yang benar – benar merasakan liburan akan merasakan suasana hati Jogja yang istimewa. Mengapa demikian ? kembali lagi bersikaplah manusiawi, menolak dengan cara yang halus dengan ucapan “Maaf”. Lalu menikmati liburan seperti wisatawan lain yang sangat antusias saat berlibur di Yogyakarta.
Dipalakin, juga merupakan situasional karena saat terjadi proses tawar menawar tentu ada pihak yang menerima dan ada pihak yang menolak. Dari sudut pandang penawar berusaha menawarkan, sementara dari sudut pandang yang sama sekali tidak tertarik akan merasa tidak nyaman.
Menanggapi hal ini tidak jauh beda dikejadian yang sama seperti di pasar, bagi yang terbiasa ke pasar akan merasa biasa saja, karena wajar. Namun, bagi yang belum pernah atau jarang ke pasar situasi tawar menawar ini sangat risih, karena terbiasa dengan situasi mall yang semua pengunjungnya dilayani layaknya raja.
“Kalo Jogja kayak gini terus orang malah jd kapok dan ga akan kesana lagi karena memberikan pengalaman buruk.”
Jika kita berniat demikian maka, itu sama saja dengan menyerah pada keadaan situasional. Diseluruh dunia, dimana saja tidak ada tempat yang istimewa. Lalu mengapa kita mengunjungi ? sementara penduduk asli daerah tempat wisata melihat situasi ini sebuah pemandangan yang biasa saja.
Yap, karena tempat yang baru, suasana yang baru, perasaan terhadap tempat tersebut baru, maka pada saat itulah kita berucap, “Wah, Indahnya..”. Itulah mengapa, ada kegiatan wisata ber-wisata mengunjungi suatu daerah di daerah lain.
Namun, menghadapi situasional ini, tidak berniat untuk kembali, maka disayangkan sekali, kan ?
Tujuan semua tanggapan ini sama sekali tidak berniat untuk menjatuhkan atau menaikan siapapun. Hanya saja memberikan ide bagaimana kita harus bersikap terhadap situasi yang “situasional” ini. Kami sangat berterima kasih terhadap masukan ini, supaya pihak – pihak yang terkait lebih jeli melihat hal ini.
Terima kasih sudah mengunjungi Kota Jogja, semoga kejadian ini menjadi pelajaran bagi semua pihak yang terkait dengan Pariwisata.
Tinggalkan Balasan